Judul di atas merupakan judul mata kuliah saya semester ini, Ilmu Sosial dan Perilaku. Membaca kedua kata tersebut : gender dan stigma sosial, apa yang ada di benak saudara? Apakah cara pandang terhadap gender, atau peran tiap gender dalam kehidupan sosial, atau lainnya?
Artikel ini akan membahas mengenai beberapa tradisi yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (hanya di beberapa daerah) yang dinilai merugikan gender tertentu, yaitu perempuan. Berawal dari salah satu poin MDG's yang tidak tercapai di Indonesia, yaitu Angka Kematian Ibu dan Bayi yang ternyata masih tinggi di daerah tersebut. Diskusi lengkap mengenai kebijakan KIA-KR juga bisa Anda akses disini. Website tersebut merupakan website mengenai kebijakan kesehatan yang dijalankan di Indonesia.
Kembali pada bahasan kita, di NTT terdapat beberapa tradisi yang dinilai merugikan kaum hawa, yang sangat berkaitan erat dengan isu kesehatan ibu dan anak. Ketika angka kematian disana masih saja tinggi, maka diadakanlah pencarian akar permasalahannya. Ternyata banyak sekali, mulai dari aspek kebijakan hingga implementasi di daerah tersebut. Artikel ini tidak akan membahas kebijakan, mungkin di artikel lain yang semoga bisa segera saya selesaikan. Bahasan kita kali ini lebih pada segi sosial dan perilaku masyarakat, mengenai tradisi Sifon, Se'i (Panggang Ibu dan Bayi pasca melahirkan),Tatobi dan Belis.
- SIFON
Menurut narasumber yang juga teman kuliah saya, sifon pertama dilakukan dengan janda atau sering dikatakan 'yang sudah ahli' baru selanjutnya dilakukan dengan gadis. Selengkapnya bisa dibaca juga disini, dalam makalah yang saya sertakan link-nya, dibahas lengkap mengenai pengaruhnya dengan PMS dan pandangan dalam sisi agama.
Sejenak kita bayangkan apa yang terjadi jika budaya yang tidak sehat dan terkesan saru tersebut tetap dipertahankan disana?. Jelas secara sosial merendahkan arti dari perempuan itu sendiri, dalam hal ini perempuan hanya dijadikan 'objek' yang bisa 'menyembuhkan', status perempuan sebagai manusia disini tidak diakui, tidak diakui secara keamanan dan kesehatan bahkan sangat berpotensi sebagai penular/penderita HIV. Status perempuan sebagai orang yang lebih tua pun juga tidak dihargai, tidak dihormati, malah dijadikan sasaran pelecehan seksual.
Bahayanya lagi jika sifon dilakukan dengan gadis, akan berapa banyak gadis yang tidak perawan lagi? bahkan bisa saja tidak akan ada gadis yang dinikahi dalam keadaan perawan. Tidak berhenti sampai disini saja, para gadis juga akan dengan mudahnya tertular penyakit seksual. Laki-laki yang melakukan sifon tentunya sudah berkali-kali ganti pasangan, dan ini merupakan jalan masuknya HIV/AIDS.
Berikut kisah nyata dari seorang korban sifon : Kisah Maleuk
Maleuk adalah perempuan yang merupakan salah seorang korban sifon, dalam artikel tersebut dia menceritakan betapa Sifon sangat2 merugikan perempuan, baik dari segi fisik maupun mental.
- SE'I dan TATOBI
Dalam diskusi yang diadakan di kelas kami, lagi-lagi disini wanita dijadikan korban karena menurut tradisi, fungsi dilakukannya Se'i adalah agar kondisi ibu kembali seperti semula (bentuk tubuhnya). Nah, dalam sudut pandang diskusi kami, indah tidaknya fisik adalah kepentingan pria saja. Padahal fungsi penting perempuan tidak hanya sebatas indah dalam artian fisik, sebagai ibu tentu saja yang terpenting adalah terjaminnya kesehatan dan pendidikan dan perilaku anaknya kelak, tak ada sama sekali hubungannya dengan bentuk fisik. Mengenai kesehatan, Se'i yang menggunakan asap sebagai sarananya, jelas saja bayi yang Se'i akan menderita ISPA, belum lagi gangguan penglihatan karena asap, begitupun yang dialami ibunya. Mengapa? karena pengasapan ibu/Se'i dilakukan dengan menduduki tungku yang masih mengepulkan asap, beberapa ibu sekaligus memangku bayinya dalam prosesi ini.
Belum berhenti di Se'i, masih ada Tatobi, Tatobi adalah tradisi yang harus dijalani ibu yang baru melahirkan agar bentuk tubuhnya segera kembali semula dengan mengompres perutnya dengan air panas, bukan hangat, tapi air yang benar-benar baru mendidih dari tungku. Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya?? Narasumber kami menambahkan, kompres ini dilakukan dengan handuk yang dicelupkan ke dalam air panas mendidih, kemudian di pukul-pukulkan atau didiamkan di perut dan pinggang. Kondisi ibu yang baru melahirkan otomatis sangat lemah, belum lagi ditambah dengan perlakuan menyakitkan yang harus dijalaninya. Karena tradisi yang tidak sehat ini, ada seorang bidan yang dengan berani menentangnya, namanya bidan Rosalinda, beliau secara telaten mensosialisasikan bahaya panggang api dan mencarikan alternatif lain untuk menghangatkan bayi dengan memberikan selimut dan minyak telon, cerdas sekali!!!
Karena ternyata, alasan beberapa ibu yang masih melakukan se'i ini adalah ingin menghangatkan bayinya, maka dari itu bidan Rosalinda tadi menggantinya dengan pemberian minyak telon agar bayi merasa hangat.
Kasus ini masih yang terjadi di NTT, belum lagi dan daerah lain, beberapa pantangan yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan ibu hamil masih juga dilakukan, disini.
Beberapa larangan untuk calon ibu yang justru secara medis malah merugikan ibu itu sendiri karena kekurangan beberapa zat gizi, misalnya saja, ibu dilarang makan makanan laut karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan malah akhirnya bayinya lahir dalam berat badan yang rendah, kemudian adanya larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nanas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan.
- BELIS
Dalam diskusi kelas kami bahkan dikatakan bahwa karena beberapa orang yang masih memakai adat ini, banyak pasangan muda mudi yang justru melakukan hubungan di luar pernikahan malah bahkan kawin lari. Wanita yang sudah di belis maka akan kehilangan hak-hak mereka, sang wanita seolah menjadi milik keluarga suaminya, sebenarnya hampir sama dengan budaya lainnya yang memang ketika seorang wanita menjadi istri, maka sudah seharusnya patuh kepada suaminya. Namun disini ada beberapa kasus yang berlebihan seperti misalnya sanga wanita sampai tidak boleh sama sekali menjenguk keluarganya, boleh pun dalam waktu yang sangat singkat. Kalau hal seperti ini rasanya bersifat kasuistik.
Artikel menarik mengenai pertentangan terhadap belis ini ditulis oleh bapak Fidel bisa ANda baca disini.
Demikianlah artikel mengenai gender dan stigma sosial, wanita sebagai korban dalam beberapa adat tentunya tidak bisa kita biarkan begitu saja. Pendidikan mungkin bisa menjadi salah satu jalan untuk bisa membebaskan para wanita ini dari adat yang tidak jelas, tidak ada manfaatnya, bahkan merugikan. Pendidikan juga tentunya berguna bagi para pria untuk kemudian tidak melestarikan adat yang masih salah, kemudian bersama2 wanita meluruskannya.
0 komentar:
Post a Comment