PENDAHULUAN
Munculnya berbagai lembaga
pendidikan berlabel Islam di tanah air pada periode awal tahun 2000 memang
cukup memberikan angin segar bagi para orang tua yang khawatir terhadap kondisi
pergaulan putra – putrinya di bangku sekolah. Memang tidak kita pungkiri
sebelumnya telah ada beberapa organisasi Islam yang juga menggarap ladang pendidikan
ini secara kontinu. Namun kemunculan lembaga pendidikan berlabel Islam akhir –
akhir ini yang semakin banyak dan tidak hanya dipegang oleh organisasi Islam
tertentu agaknya memang hal tersebut berperan sebagai respon dari masyarakat
yang membaik terhadap lembaga pendidikan berlabel Islam (sekolah Islam).
Sekolah Islam sebelumnya sempat mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat secara umum. Masyarakat menilai bahwa sekolah
Islam adalah kasta kelas dua, jika putra – putrinya tidak masuk ke sekolah umum
barulah mereka mau memasukkan putra – putri mereka ke sekolah Islam. Alih – alih
untuk membuat putra – putri mereka lebih baik dengan menuntut ilmu di sekolah
Islam, beberapa dari orang tua siswa masih berpikir, daripada tidak bersekolah,
lebih baik di sekolahkan di sekolah yang Islam saja. Jikalau niatnya saja sudah
seperti itu maka output yang dihasilkan sudah bisa kita tebak seperti apa
nantinya.
Output pendidikan Islam yang
sebenarnya dapat kita baca dari pengertian Ibnu Qayyim Al Jauziyah, beliau mengartikan
pendidikan yang seringkali disebut dengan tarbiyah. Tarbiyah menurut beliau,
mencakup tarbiyah qalb (pendidikan
hati) dan tarbiyah badan secara
sekaligus. Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan tarbiyah. Keduanya harus
ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna
dan lebih baik dari sebelumnya (Al Jauziyah, 2011). Dengan pendidikan yang
seimbang (tawazun) antara hati dan akal maka akan didapatkan kualitas sumber
daya manusia yang luar biasa sesuai dengan ciri seorang muslim yang sempurna.
Namun
sayangnya semakin tahun kepekaaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan ini
semakin menurun, Menurun secara substansial dari pengertian pendidikan yang
telah disebutkan di atas. Kita bisa melihat dari target yang ditetapkan
pemerintah dan secara otomatis menjadi pola pikir dari orang tua murid, yaitu
nilai dengan ambang batas tertentu. Tahun 2011 formula nilai akhir penentu kelulusan siswa sekolah
menengah pertama (SMP) dan sederajat, serta sekolah menengah atas (SMA) dan
sederajat, ditetapkan dengan menggabungkan nilai mata pelajaran ujian nasional
(UN) dengan nilai sekolah. Nilai akhir adalah pembobotan 60 persen nilai UN
ditambah 40 persen nilai sekolah. Syarat kelulusan lainnya adalah nilai tiap
mata pelajaran minimal 4,00 dan tidak ada ujian ulangan. (Kompas, 2011). Targetnya
masih berupa nilai – nilai atau angka – angka, belum ada targetan terkait
akhlak dari peserta didik. Targetan lain, akhlak misalnya yang sebenarnya tidak
harus masuk ke dalam syarat kelulusan itu ternyata juga tidak sepebuhnya
dipahami oleh seluruh staf pengajar di sekolah – sekolah umum. Mereka lebih
mementingkan pintar secara akal dan lulus dengan nilai yang memuaskan serta
menambah nilai jual dari sekolah yang bersangkutan jika lebih sedikit
persentase yang tidak lulus.
Padahal jika dilihat lebih mendalam,
stigma tentang kualitas output siswa dari sekolah Islam tidak sepenuhnya benar.
Di novel Laskar Pelangi (Hirata, 2008) yang juga mengecap pendidikan dasarnya
di sekolah Islam Muhammadiyah Belitong mengalami pematangan akhlak disana,
karena sekolah tersebut tidak hanya berdasarkan nilai angka, tapi hati lah yang
harus juga ikut ‘disekolahkan’. Akhirnya dia juga menjadi peraih beasiswa ke
luar negeri tanpa mengesampingkan pendidikan akhlak yang di peroleh di
sekolahnya dulu. Lain cerita seperti pengarang novel Negeri Lima Menara, Achmad
Fuadi yang awalnya ‘dipaksa’ untuk melanjutkan pendidikan di sekolah Islam
pondok pesantren modern Gontor, Ponorogo. Keinginan ibunya untuk menjadikan dia
seorang sosok intelektual religius seperti Buya Hamka telah mengantarkannya
merasakan pendidikan yang disampaikan dengan ikhlas oleh para kyai nya di
pondok (Fuadi, 2010). Bahkan jargon yang sangat kita kenal dan menjadi kata –
kata motivasi dari novel ini adalah ‘Man
Jadda Wa Jada’ yang artinya barangsiapa bersungguh – sungguh pasti dia akan
berhasil/sukses. Hal ini yang tidak menghalangi pengarang dan juga seluruh
siswa di sekolah Islam untuk menjadi seorang pribadi yang sukses dalam urusan
dunia dan juga agama. Dalam ungkapan salah seorang sahabat pun juga disebutkan “Bersungguh
– sungguhlah kalian dalam urusan agama seolah – olah kalian mati esok pagi dan
juga bersungguh sungguhlah dalam urusan dunia seolah engkau akan hidup
selamanya”.
Sekolah Islam yang sekarang sudah
mulai ‘terasa’ bedanya di masyarakat, penerimaan mereka terhadap sekolah Islam
mulai meningkat, terutama pada sekolah Islam terpadu. Pengajaran di sekolah
Islam terpadu yang cukup menarik membuat anak didik tidak jenuh dan lebih
mengenal Islam dengan menyenangkan. Salah satu contohnya lewat berbagai
permainan yang disisipi hikmah, mengajari hafalan dengan lagu anak – anak tidak
lupa pula penyampaian cerita sejarah Islam dan para nabi dengan bermain peran
dan lain sebagainya. Lebih menarik adalah pengajaran moral yang diterapkan
dengan cara learning by doing dan
juga diajarkan secara langsung oleh ustadz atau ustadzah mereka. Fokus utamanya
adalah untuk membentuk akhlak yang Islami (Fauziddin, 2009).
Makalah
ini mencoba untuk memberikan arahan mengenai lembaga pendidikan yang dapat
membantu anak – anak mengerti Islam dengan menyenangkan. Selain itu juga
menggali keunggulan apa saja yang ada pada sekolah islam terpadu tentang sistem
pengajaran dan penanaman akhlak kepada anak didiknya.
PEMBAHASAN
Sekolah
Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara
historis memang bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai
religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa ini. Sesungguhnya yang
memperjuangkan bangsa ini di garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang
dan berperang. Tapi, tidak semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung
seperti K.H. Agus Salim, Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto,
dua pendidir Ormas besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim
Asy’ari (pendiri NU) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan
seperti M. Natsir atau seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal
Soedirman dan begitu banyak lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri
yang berjuang berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Kedua,
pada dasarnya manusia selalu ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah
menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik diantara makhluk-makhluknya yang
lain yang mampu berfikir. Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya.
Setelah sekian lama manusia Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau
disamarkan membuat jiwa bangsa ini memberontak. Upaya-upaya untuk mencerabut
bangsa ini dari akar budayanya ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan
Sistem Pendidikan Nasional dan model pendidikan umum yang terus memisahkan
antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia
yang ingin memenuhi relung jiwanya dengan cahaya Allah.
Ketiga,
Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan
umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah
Islam Terpadu juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya
masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang
mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba
menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan
perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara
manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu
bersaing. Tentunya membentuk karakter
mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja. Ketiga
hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak
masyarakat Indonesia saat ini (Sumantri, 2011)
Ketiga
hal di atas bisa menjadi dasar untuk mencoba menerapkan sistem pembelajaran yang
dilakukan di sekolah islam terpadu, sehingga tidak melulu nilai angka yang
diprioritaskan. Tapi mulai mengarah kepada nilai akhlak yang dimiliki anak
didik nantinya. Fakta di lapangan mengenai cara mendidik di sekolah umum sangat
berbeda dengan sekolah Islam terpadu yaitu dalam ‘mengolah’ anak didik mereka
menjadi sumber daya manusia yang juga pintar secara perilaku. Misalnya saja, tidak
kita temukan semacam permainan berhikmah di sekolah umum, berdoa pun tidak bisa
dilafalkan dan dibenarkan panjang pendek serta makhorijul hurufnya karena dalam
1 kelas mungkin ada siswa yang beragama lain. Selain itu, yang lebih penting
adalah seluruh mata pelajaran mulai dari eksak sampai sosial disampaikan tanpa
bisa terpadu dengan agama Islam, hanya sesuai dengan capaian tersampaikannya
materi tersebut.
Masyarakat mulai sadar dan melihat
bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan pondasi dari pendidikan
selanjutnya. Pembentukan kecerdasan tidak hanya dinilai dari umum tapi juga
agama, khususnya agama Islam. Masa pendidikan dasar adalah masa pendidikan
moral. Hal ini yang akan menentukan bagaimana anak berkembang. Kemerosotan
moral yang terjadi pun juga disebabkan salah satunya oleh penanaman nilai agama
pada anak usia dini yang diabaikan (Dewi, 2010).
Berbagai metode pengajaran di
sekolah Islam terpadu yang menarik siswa untuk lebih paham dan kemudian
mengikuti apa yang diajarkan ustadz/ustadzah mereka antara lain sebagai berikut
: kelas diawali dengan membaca doa akan belajar, syahadat, surat fatihah,
murojaah (mengulang hafalan), ikrar, tata tertib, dan absensi. Selanjutnya pembelajaran
materi Al islam dengan menggunakan pendekatan
belajar melalui bermain.
Kelebihan yang dimikili oleh sekolah
Islam terpadu yaitu prinsip learning by
doing. Siswa terlibat langsung
dalam, pengalaman yang konkrit dengan suatu materi. Aktivitas di mana mereka
berpartisipasi dengan sesuatu yang relevan dan penuh arti. Kemudian juga adanya
reward and punihsment yang mendidik,
jika salah seorang anak didik melakukan kesalahan maka respon yang dilakukan
oleh ustadz/ustadzahnya bukanlah memarahi mereka, justru mengajak dialog hingga
anak didik tahu benar dimana letak kesalahan yang dia lakukan. Dengan cara ini
diharapkan anak didik tidak mengulangi kesalahannya lagi karena mereka telah
paham bahwa perbuatannya tidak benar. Pembiasaan lainnya lewat contoh pun juga
berlaku sebaliknya, jika salah seorang pengajar melakukan kesalahan yang
diketahui anak didiknya, misalnya ketika masuk kelas tidak mengucapkan salam,
maka pengajar lainnya akan menegur dan menanyakan kepada anak didik lainnya
bagaimanakah seharusnya perilaku yang benar. Dari kedua contoh tersebut dapat
dilihat bahwa sang anak didik benar – benar mendapatkan contoh nyata yang harus
mereka lakukan, sehingga mereka lebih mudah menirunya.
Dalam sekolah islam terpadu, guru tetap
memegang peranan yang penting dalam
proses pendidikan, yaitu dakam penanaman
nilai. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan Chomaidi bahwa “peranan guru bukan sekedar komunikator
nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku
dan sumber nilai
yang menuntut tanggung
jawab dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas
pembangunan manusia
seutuhnya, baik yang bersifat
lahiriyah maupun yang bersifat
batiniah (fisik dan
non fisik). Artinya yang dibangun
adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas iman,
kualitas kerja, kualitas
hidup, kualitas pikiran,
perasaan, dan kemauan (Chomaidi, 2005)”. Guru di sekolah islam terpadu berperan
sebagai orang tua siswa saat di sekolah, bahkan pengawasan siswa ketika di
rumah pun juga masih dipantau lewat orang tuanya, adakah perubahan positif dari
anak didiknya.
PENUTUP
Dari makalah ini dapat disimpulkan
bahwa sekolah Islam terpadu merupakan alternatif yang baik untuk mencetak anak
didik yang cerdas secara akal dan juga hati. Orangtua yang khawatir akan
kondisi masa depan akhlak putra – putrinya yang dalam hal ini dapat menentukan
kondisi bangsa di masa depan dapat mulai untuk beralih sudut pandang mengenai
pendidikan yang terbaik untuk buah hatinya.
Melihat
respon yang cukup baik dari masyarakat dan juga banyaknya bermunculan sekolah
Islam terpadu, agaknya pemerintah juga perlu memberikan perhatiannya pada
lembaga ini. Akan lebih baik lagi jika beberapa model pengajaran sekolah islam
terpadu juga diterapkan pada pengajaran mata pelajaran di sekolah umum.
*) Makalah ini dibuat sendiri dalam strata pendidikan S2 PAI :D
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayim . 2011. Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, (Kairo: tp, 1320 H), Juz I, hal 46. .http://majelispenulis.blogspot.com/2011/07/pendidikan-islam-persepsi-ibnu-al.html
Chomaidi. “Peranan Pendidikan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”. Disampaikan di depan Rapat Senat Terbuka UNY, 15 Oktober 2005.
Dewi, Citra. 2010. Implementasi Sistem Pembelajaran Terpadu di Sekolah
Dasar Islam Terpadu (SDIT) Ar Risalah Surakarta. Tesis Prodi Teknologi
Pendidikan UNiversitas Sebelas Maret. Surakarta.
Fauziddin, Moh.
2009. Pembelajaran Agama Islam Melalui Bermain Pada Anak Usia Dini (Studi kasus
di TKIT Nurul Islam Pare Kebupaten Kediri Jawa Timur) http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pd_0704865_chapter4.pdf
Fuadi, Ahmad,
2010. Novel Negeri Lima Menara. Jakarta : Penerbit Gramedia
Hirata, Andrea.
2008. Novel Laskar Pelangi. Jakarta : Penerbit Klub Sastra Bentang
Kompas, 2011. Penting, Syarat Lulus 2011 Berubah.
Edisi 04 January 2011.http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/04/penting-syarat-lulus-2011-berubah/
Sumantri, Elly.
2011. Fenomena Madrasah Bubar Dan Islamic Full Day School.
/http://ellysumantri.blogspot.com/2010/06/sekolah-islam-terpadu-fenomena.html)
2 komentar:
wah jadi lebih paham Peran guru dalam menanamkan akidah
tekad saya menjadi lebih kuat untuk memasukan anak saya ke sekolah islam Madrasah Ibtidaiyah unggul di Surabaya
Post a Comment