PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Morbiditas
dan mortalitas yang diakibatkan oleh penyakit kronis semakin meningkat. Salah
satu penyebab penyakit kronis tersebut adalah merokok. Menurut Ford, merokok
merupakan faktor risiko utama yang dapat dicegah bagi berbagai penyakit,
khususnya, kanker, penyakit pernapasan dan penyakit kardiovaskular. Diperkuat
dengan dengan pendapat Bala, bahwa berhenti merokok memiliki manfaat kesehatan
yang besar misalnya saja, pengurangan dua kali lipat risiko kanker paru-paru dan
pengurangan 50% dari risiko kejadian kardiovaskular pada dua tahun pertama
setelah berhenti merokok (Liu, J.J. et al., 2013).
Paparan asap rokok, baik aktif maupun pasif, menurut Barnoya et al membawa beban penyakit yang tinggi di seluruh dunia. Begitupun Danaei et al. dalam penilaian terbaru yang
komprehensif dari kematian yang disebabkan oleh faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dalam populasi orang dewasa AS, mengemukakan bahwa penggunaan tembakau bertanggung jawab atas kematian 467.000
orang pada tahun 2005 (Mallat, A. & Lotersztajn, S., 2009). Singer menyatakan bahwa merokok, bagaimanapun, adalah faktor risiko yang berhubungan erat dengan
kehidupan sehari-hari, juga dipengaruhi oleh etnis dan hubungannya dengan
pemahaman kesehatan, kondisi hidup, pola sosial, dan perilaku (Liu, J.J. et al., 2013).
Pergeseran usia merokok menjadi lebih muda agaknya merupakan
salah satu bukti bahwa perusahaan rokok telah berhasil menarik lebih banyak
lagi konsumen untuk merokok. Semakin muda masa seseorang mulai merokok sejajar
dengan paparan yang diterima oleh perokok itu sendiri. Tidak hanya cukup
disana, asap rokok juga berdampak terhadap orang-orang di sekitarnya.
Pengeluaran yang nantinya akan dibayarkan oleh orang-orang yang terkena akibat
merokok akan sangat besar ketika akibat tersebut timbul, misalnya saja penyakit
jantung, kanker paru, gangguan kehamilan, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, pada beberapa rokok sudah dicantumkan
peringatan akan bahaya rokok. Peringatan ini dibuat dalam bentuk tulisan
berhuruf besar dan diberi kotak hitam bergaris tebal. Hal ini merupakan salah
satu upaya pemerintah dalam mengurangi dampak negatif rokok. Oleh karena itu,
sudah seharusnya wakil rakyat dan pemerintah untuk segera meluncurkan
undang-undang atau peraturan untuk larangan merokok untuk usia dini. Tidak
hanya merokok tetapi harus dibuat
peraturan berkaitan dengan aktivitas berkaitan dengan rokok seperti
larangan kepada anak untuk mengonsumsi rokok, menjual rokok kepada anak,
penjualan rokok oleh anak, serta
pengaturan ketat terhadap iklan dan promosi rokok, khususnya di kawasan
belajar-mengajar (Buku Profil Tembakau, 2009).
I.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana dinamika eksternal komunikasi dan kepemimpinan
dalam kebijakan pengendalian tembakau ?
I.3 Tujuan
1. Mengetahui dinamika kepemimpinan dalam
kebijakan pengendalian tembakau
2. Mengetahui dinamika eksternal komunikasi kebijakan
pengendalian tembakau
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Teori Kultivasi, Komunikasi Massa
Terdapat tujuh teori komunikasi massa dimana
hanya satu yang akan dipakai dalam makalah ini. Ketujuh teori tersebut sebagai
berikut :
1. Agenda Setting Theory
2. Uses and Gratifications Theory
3. Hypodermic Needle Theory
4. Teori efek terbatas media massa
5. Teori efek moderat media massa
6. Spiral of Silence Theory
7. Teori Kultivasi
Dalam makalah
ini akan dibahas
teori kultivasi sebagai media komunikasi massa dalam proses pengendalian
tembakau. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama
dimana para penonton
televisi belajar tentang masyarakat dan kultur
dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi
apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya
sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan
televisi, mereka belajar
tentang dunia, orang-orangnya, nilai
(nilai sosial)
serta adat
dan tradisi
nya. Teori kultivasi dalam bentuk yang paling dasar menunjukkan paparan bahwa
sesungguhnya televisi dari waktu ke waktu, secara halus "memupuk" persepsi
pemirsa tentang kehidupan realitas
(Littlejohn,Stephen W & Foss, Karen A. 2005).
II.2 Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC)
FCTC merupakan
acuan bagi kerangka pengendalian tembakau di tingkat global maupun nasional.
Pokok-pokok kebijakan FCTC mencakup (1) Peningkatan cukai rokok; (2) Pelarangan
total iklan rokok; (3) Penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang komprehensif; (4)
Pencantuman peringatan kesehatan berupa gambar pada bungkus rokok; (5) Membantu orang yang ingin berhenti merokok;
dan (6) Pendidikan Masyarakat.
Sampai saat ini
sudah 168 negara dari 192 negara anggota WHO telah meratifikasi FCTC. Indonesia
walaupun ikut terlibat aktif dalam menyusun rancangan FCTC baik dalam pertemuan
– pertemuan internasional maupun
pertemuan regional antara negara anggota WHO Kawasan Asia Tenggara, Indonesia
merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tidak meratifikasi FCTC.
Padahal seluruh masyarakat global sepakat bahwa butir-butir dalam FCTC
merupakan upaya perlindungan kesehatan masyarakat yang merupakan hak azasi
manusia yang bersifat universal. Setelah masa itu berakhir yang belum
menandatangani FCTC, masih tetap dapat mengaksesi perjanjian tersebut. Apabila
konvensi sudah ditandatangani lebih dari 40 negara, maka konvensi itu menjadi
Hukum Internasional (berlaku sejak tahun 2005) (Buku Profil
Tembakau, 2009).
II.2.1 Pokok –
pokok isi FCTC dan Persandingannya dengan Status Indonesia Saat ini
WHO
FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (WHO FCTC)
STATUS
INDONESIA SAAT INI
|
Pasal
dalam FCTC
|
Ringkasan
Pasal
|
Status
Indonesia Saat Ini
|
5.3 Perlindungan kebijakan
pengendalian tembakau dari
pengaruh industri tembakau
|
Para Pihak harus
melindungi kebijakan pengendalian
tembakau dari tujuan komersil dan
kepentingan lain industri tembakau sesuai UU.
|
Pengaruh industri tembakau:
·
Tidak ada
regulasi / peraturan pemerintah untuk melindungi pengendalian tembakau dari pengaruh
industri tembakau.
·
Industri
tembakau telah menyusun peta masa depan industri tembakau di Indonesia, yang
juga mencantumkan komponen kesehatan.
|
6. Harga dan Cukai untuk
mengurangi permintaan terhadap tembakau
|
Para pihak harus mempertimbangkan tujuan Kesehatan nasional dalam
menetapkan kebijakan pajak dan harga produk tembakau, termasuk penjualan
bebas pajak dan cukai, serta melaporkan tingkat pajak dan kecenderungan
konsumsi dalam pertemuan berkala.
Tarif cukai seharusnya
mencapai 2/3 dari harga jual eceran.
|
·
Rata-rata cukai rokok saat ini adalah 37% dari harga jual eceran.
·
Pajak
pertambahan nilai (PPN) adalah 8,4% dari harga jual eceran.
·
Peraturan
Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 yang berlaku efektif 1 Februari
·
berkisar antara Rp.80 – Rp.290 perbatang/gram untuk rokok kretek dan rokok putih serta
Rp.40 – Rp.200 untuk kretek linting dengan HJE terendah Rp.217 perbatang/gram
dan HJE tertinggi
|
WHO
FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (WHO FCTC)
STATUS INDONESIA SAAT INI
|
Pasal
dalam FCTC
|
Ringkasan
Pasal
|
Status
Indonesia Saat Ini
|
|
|
·
lebih dari Rp.660 perbatang/gram untuk rokok kretek dan
rokok putih. 2009 memasukkan tarif cukai yang Sedangkan HJE terendah Rp.234 perbatang/gram dan HJE tertinggi lebih
dari Rp.590 perbatang/gram untuk kretek linting. Batasan jumlah produksi
pabrik lebih dari 2 milyar batang (gol.I); tidak lebih dari 2 milyar batang
(gol.II) untuk rokok kretek, rokok
putih dan kretek linting serta tidak lebih dari 500 juta batang (gol.III)
kretek linting.
|
8. Perlindungan terhadap
paparan asap rokok
|
Para pihak harus
memberlakukan dan menerapkan peraturan Kawasan Tanpa
Asap Rokok di wilayah hukum
masing-masing dan menyebar luaskan peraturan ini ke wilayah hukum
lainnya di perkantoran, tempat-tempat umum tertutup, dan transportasi umum.
|
·
Menurut PP
19/2003: ruang publik, tempat pelayanan kesehatan, perkantoran, tempat
pendidikan, ruang bermain anak, tempat ibadah serta transportasi umum
dinyatakan sebagai daerah bebas asap rokok. Tetapi,
peraturan ini tidak diterapkan secara efektif.
·
Pengelola ruang
publik (tempat-tempat umum) dan perkantoran yang menyediakan ruang khusus
merokok diwajibkan memasang ventilasi udara untuk menghindari gangguan kesehatan
pada non perokok, walaupun sebenarnya ventilasi ini tidak efektif.
·
Transportasi
umum bisa menyediakan tempat khusus untuk perokok yang secara fisik terpisah
serta dilengkapi dengan ventilasi udara yang sesuai dengan persyaratan dari
Departemen Perhubungan.
|
11. Kemasan dan label
produk tembakau
|
Para pihak harus menerapkan
peraturan termasuk persyaratan penempatan label peringatan kesehatan (health warnings) secara bergantian
serta pesan-pesan lainnya yang sesuai pada kemasan produk tembakau.
Peringatan kesehatan
|
·
Peringatan
kesehatan dalam bentuk kalimat harus dicantumkan pada kemasan: “Merokok dapat
menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan membahayakan kehamilan
serta perkembangan janin.”
·
Peringatan
kesehatan dalam bentuk kalimat dicetak di bagian belakang
|
WHO
FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (WHO FCTC)
STATUS INDONESIA SAAT INI
|
Pasal
dalam FCTC
|
Pasal
dalam FCTC
|
Pasal
dalam FCTC
|
|
meliputi sedikitnya 30%
(secara ideal adalah 50% atau lebih) dari luas tampilan utama dan
mencantumkan gambar atau piktogram, serta mencegah kemasan dan label yang
salah, menyesatkan atau menipu.
|
kemasan rokok dengan pinggiran selebar 1mm dalam
warna yang kontras antara huruf dan warna dasar, dengan ukuran minimal 3 mm.
·
Tidak ada
peraturan mengenai istilah-istilah yang menyesatkan seperti low tar, light, ultra light, mild.
|
13. Iklan, promosi dan
sponsorship dari industri rokok
|
Para pihak harus menerapkan
pelarangan yang komprehensif terhadap seluruh iklan, promosi dan sponsorship
dari produk tembakau.
|
·
Iklan,
sponsorship dan promosi rokok diperbolehkan di media elektronik, cetak dan
luar ruang.
·
Semua bentuk
iklan harus mencantumkan peringatan kesehatan (health warnings).
·
Iklan di media
elektronik dilarang dari pukul 05.00 –
21.30.
·
Iklan tidak
boleh memperlihatkan kemasan rokok, orang merokok, gambar atau kalimat yang
terkait dengan anak-anak, remaja dan wanita hamil serta menampilkan merek
produk.
·
Pemberian
produk gratis (free sample) atau
hadiah dalam bentuk rokok atau produk lain yang menampilkan merek dagang
dilarang.
|
Dikutip
dari : Buku Profil Tembakau Tahun 2009
II.3 Strategi
MPOWER :
Guna memperluas
perlawanan terhadap epidemi tembakau, World Health Organization
menyarankan 6 langkah-langkah pengendalian tembakau dan kematian yang disebut
dengan strategi MPOWER.
1. Monitor
Penggunaan Tembakau dan Pencegahannya
Monitor
penggunaan tembakau dan dampak yang ditimbulkannya harus diperkuat untuk
kepentingan perumusan kebijakan. Saat ini 2/3 negara berkembang di seluruh
dunia tidak memiliki data dasar penggunaan tembakau pada anak muda dan orang
dewasa. Hampir 2/3 perokok tinggal di 10 negara dan Indonesia menduduki posisi
ketiga.
2. Perlindungan
terhadap Asap Tembakau
Asap rokok tidak
hanya berbahaya bagi orang yang menghisap rokok tetapi juga orang di sekitarnya
(perokok pasif). Lebih dari separuh negara di dunia, dengan populasi mendekati
2/3 penduduk dunia, masih membolehkan merokok di kantor pemerintah, tempat
kerja dan di dalam gedung. Perlindungan terhadap asap tembakau hanya efektif
apabila diterapkan Kawasan Tanpa Rokok 100%.
3. Optimalkan
Dukungan untuk Berhenti Merokok
Tiga dari 4
perokok di seluruh dunia menyatakan ingin berhenti merokok namun bantuan
komprehensif yang tersedia baru dapat menjangkau 5% nya. Bantuan yang dapat
diberikan adalah: 1) Pelayanan konsultasi bantuan berhenti merokok yang
terintegrasi di pelayanan kesehatan primer; 2) Quitline: Telepon layanan
bantuan berhenti merokok yang mudah diakses dan cuma-cuma; 3) Terapi obat yang
murah dengan pengawasan dokter.
4. Waspadakan
Masyarakat akan Bahaya Tembakau
Walaupun
sebagian besar perokok tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, namun
kebanyakan dari mereka tidak tahu apa bahayanya. Karena itulah, pesan kesehatan
wajib dicantumkan dalam bentuk gambar.
5. Eliminasi
iklan, Promosi dan Sponsor terkait Tembakau
Pemasaran
tembakau memiliki peranan besar dalam meningkatkan gangguan kesehatan dan
kematian karena tembakau. Larangan terhadap promosi produk tembakau adalah
senjata yang ampuh untuk memerangi tembakau. Sepuluh tahun sejak inisiasi
larangan iklan rokok dijalankan, konsumsi rokok di negara dengan larangan iklan
turun 9 kali lipat dibandingkan dengan negara tanpa larangan iklan.[i]
6. Raih
Kenaikan Cukai Tembakau
Dengan menaikkan
cukai tembakau, harga rokok menjadi lebih mahal. Hal ini merupakan cara yang
paling efektif dalam menurunkan pemakaian tembakau dan mendorong perokok untuk
berhenti.
Strategi MPOWER
harus dilaksanakan secara keseluruhan untuk mencapai hasil yang efektif (Buku Profil Tembakau, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
Kepemimpinan dalam implementasi kebijakan pengendalian
tembakau dapat dikategorikan dalam kepemimpinan tidak efektif. Terlihat dari
komitmen bawahan yang rendah (dilihat dari lembaga kesehatan) dan antusiasme
atasan yang juga rendah (dalam hal ini kementrian kesehatan). Pengendalian sendiri
memeiliki tujuan mendapatkan komitmen para anggota untuk mewujudkan kegiatan.
Pengendalian tembakau dalam hal ini mengerucut pada rokok
tidak muncul begitu saja. Rokok merupakan salah satu faktor risko dari berbagai
penyakit seperti jantung dan pembuluh darah, paru dan penyakit degeneratif
lainnya. Belum lagi aibat dari asap rokok yang menimbulkan dampak negatif bukan
hanya pada pemakai, tapi juga oarang yang menghirup asap rokok tersebut. Senada
dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang direncanakan tercapai
pada tahun 2015.
WHO menyatakan bahwa rokok merupakan salah satu
penghambat tercapainya MDGs tersebut. Dalam MDGs pertama, tingkat pertumbuhan
ekonomi sangat terpengaruh. Perokok justru lebih banyak pada keluarga miskin. Survei
tentang pengeluaran rumah tangga pada beberapa negara seperti Bulgaria, Mesir,
Indonesia, Myanmark, dan Nepal, menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan
rendah menggunakan 5-15% dari pendapatan bersihnya untuk tembakau. Mereka
menggunakan uangnya lebih banyak untuk rokok daripada untuk biaya pendidikan
atau kesehatan ( Katharine ME et.al., 2004).
MDGs poin keempat dan kelima secara tidak langsung juga
akan terpengaruh dimana estimasi jumlah perokok wanita diperkirakan akan meningkat
dari 218 juta pada tahun 2000 menjadi 259 juta pada tahun 2025. Perokok wanita
mempunyai dampak yang lebih luas, karena selain terkait dengan risiko pada
dirinya, juga bayi yang dikandung, serta anggota keluarga lain (INWAT, 2006).
Rendahnya status gizi dan kesehatan menjadi penyebab utama
tingginya kematian bayi. Penggunaan uang untuk rokok mengurangi kepedulian
terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak dan pemeliharaan kesehatannya. Beberapa
zat berbahaya yang terkandung dalam rokok bisa melewati sawar darah plasenta
sehingga sampai ke janin. Wanita perokok atau perokok pasif juga mempunyai risiko
lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang
rentan terhadap masalah kesehatan. (MDGs 4 dan 5) (INWAT, 2006).
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh rokok tersebut
mendorong pemerintah menerapkan bentuk pengendalian berupa peraturan
pemerintah. Sebagai implementasi UU No. 36 tahun 2009, dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pengaturan pembatasan terhadap
orang yang merokok adalah kewajiban negara agar setiap warga negara dapat
menikmati udara bersih dan lingkungan yang sehat, termasuk di tempat umum
(Darajat Z.et.al., 2013).
Kepemimpinan dalam kasus pengendalian tembakau ini masih
tidak jelas dan terkesan setengah hati. Terbukti dengan tidak didukungnya
seluruh kebijakan yang mengarah pada pembatasan penggunaan tembakau dan produk
turunannya. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum
meratifikasi FCTC pada tahun 2013. Ambiguitas pemerintah dalam menentukan
kebijakannya terlihat dari pemerintah di satu sisi menghendaki industri rokok
menjadi salah satu pemasok pendapatan negara dan penyedia lapangan kerja sementara
di pihak lain harus melindungi kepentingan masyarakat agar keselamatan dan kesehatannya
terpenuhi (Budihardjo, 2010).
Respon terhadap pengendalian tembakau ini pun belum sama
seluruhnya. Beberapa memiliki respon positif dengan menerima, mematuhi dan
melaksanakannya, misalnya saja di kantor dan perusahaan besar telah melarang
dengan keras merokok di tempat umum dan menyediakan tempat khusus untuk
merokok. Beberapa lainnya memiliki respon negatif dengan menolaknya, tidak
melaksanakannya, individu yang tetap saja cuek dan merokok di tempat-tempat
umum karena menganggap merokok adalah juga hak asasi mereka.
Pengendalian tembakau dalam kebijakan pemerintah
disosialialisasikan kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Model
komunikasi eksternal ini menurut teori kultivasi menitikberatkan pada media
televisi sebagai sarana promosi produk rokok. Beberapa pasal dalam FCTC yang
akan dibahas dalam kaitannya dengan komunikasi eksternal adalah pasal 8, 11 dan
13 yaitu : (Pasal 8) Perlindungan
terhadap paparan asap rokok, (Pasal 11) Kemasan
dan label produk tembakau, (Pasal 13) Iklan,
promosi dan sponsorship dari industri rokok.
Beberapa mitos yang sering digaungkan untuk menolak
peraturan mengenai pengendalian tembakau dalam sebuah diskusi oleh Kastrat BEM
IM FKM Universitas Indonesia tahun 2012 : 1) UU Lingkungan Bebas Asap Rokok
tidak Populer, masyarakat tidak menginginkannya, padahal faktanya kebijakan ini sangat
populer di banyak negara, seperti Malaysia, Brunei Darusalam, Thailand; 2) Undang-Undang yang
melarang orang merokok pada waktu santai tidak dapat diterapkan padahal
faktanya di negara-negara maju, tingkat kepatuhan rata-rata 90 %; 3) Kalau
Orang tidak diperbolehkan merokok di tempat umum, mereka akan lebih banyak
merokok di rumah masing-masing dimana risiko paparan keluarga akan lebih besar,
padahal faktanya di New Zealand
misalnya, paparan asap rokok orang lain di rumah tangga berkurang lebih dari 50 %, 3 tahun setelah Undang-undang
tentang KTR diberlakukan (IAKMI, 2012).
Media berperan penting dalam penyampaian informasi
pengendalian tembakau ini, menurut sebuah penelitian oleh Mulya (2010), daya
tarik promosi rokok dalam media elektronik menarik sebesar 82,78%. Mengingat
besarnya peran media elektronik dalam menarik minat mahasiswa terhadap rokok,
hendaknya jam tayangan iklan melalui media elektronik mengikuti ketentuan hukum yang berlaku dimana dalam PP No. 19
Tahun 2003 diatur bahwa iklan pada media
elektronik hanya dapat diberlakukan dari jam 21.30 sampai dengan
pukul 05.00 waktu
setempat. Sedangkan media luar ruang menarik menurut responden sebesar
34,72%.
Pelaksanaan strategi MPOWER di beberapa negara di dunia
belum berjalan baik, di China misalnya, masih berjalan rendah dengan persentase
35%. Sedangkan di Vietnam mengusahakan agar dapat menaikkan cukai rokok yang akan
dialokasikan untuk mendanai kegiatan anti rokok dan memberikan lapangan kerja
dan pelatihan bagi petani tembakau, tujuannya agar petani tembakau tidak
kembali menggeluti pertaniannya. Kemudian masih tetap perlu adanya lembaga
terpisah dari pemerintah untuk mengevaluasi jalannya strategi ini. Tidak kalah
penting adalah koordinasi anatar lembaga terkait untuk mencegah duplikasi
tugas.
Hambatan serupa ada di negara berkembang
hampir semua besar dengan struktur pemerintahan yang rumit (Tran D.T.et.al., 2013).
Di Timur Tengah peningkatan harga rokok dapat mendorong
penghentian terkait perilaku di kalangan perokok SMA. Berbasis bukti kebijakan,
seperti kenaikan pajak pada produk tembakau, harus dimasukkan sebagai bagian
penting dari kebijakan pengontrolan tembakau yang komprehensif, yang dapat
memiliki efek positif pada penurunan prevalensi merokok dan meningkatkan
berhenti merokok di kalangan pemuda (Tworek, 2010).
Berbagai studi di banyak negara menunjukkan bahwa peningkatan
pajak merupakan salah satu langkah efektif pengendalian dampak rokok, dan
ternyata tidak memberikan imbas ekonomi seperti yang ditanamkan selama ini. Hal
tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia seharusnya lebih tegas dan berani
menerapkan kebijakan pengendalian tembakau (Prabaningrum, 2008).
Peraturan kemasan polos dilaksanakan di Australia pada
tahun 2012 dimana citra merek akan dilarang dan paket menampilkan warna standar
tunggal dan font, bersama dengan peringatan mandat pemerintah. Namun, peraturan
ini tidak membatasi deskriptor merek. Dengan tidak adanya citra merek,
deskriptor merek dan elemen teks lain diharapkan dapat meningkatkan
pengendalian rokok (Czoli, 2013). Prevalensi keseluruhan eksposur untuk iklan
pro-tembakau melalui internet meningkat secara signifikan antara tahun 2000 dan
2012. Implementasi yang efektif dan berkelanjutan kebijakan yang membahas iklan
pro-tembakau mungkin bisa membantu melindungi pemuda dari inisiasi penggunaan
tembakau (Agaku, 2013).
Upaya kuratif rehabilitatif dilakukan dengan sosialisasi berbagai
cara mengatasi kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan SDM untuk
melakukan terapi berhenti merokok, mengingat efek adiktif nikotin memang
mempersulit berhenti merokok. Pembentukan kelas atau kelompok berhenti merokok bisa menjadi salah satu alternatif
(Prabaningrum, 2008).
Sebagai upaya mencegah peningkatan perokok baru dari
generasi muda, pemerintah dapat memasukkan bahaya rokok dalam kurikulum
pendidikan. Pemerintah juga mendorong penelitian tentang manfaat lain daun
tembakau melalui program Karya Ilmiah Remaja (KIR) bagi Sekolah Menengah Atas
(SMA), dan lomba kreativitas mahasiswa.
Pengendalian rokok dapat ditempuh melalui penerbitan
peraturan larangan merokok di tempat umum dan larangan menjadikan produsen
rokok sebagai sponsor di berbagai kegiatan, khususnya kegiatan anak-anak dan
remaja serta di dunia pendidikan. Bila peraturan tersebut belum mempan, perlu
adanya gerakan massa masif atau penggalangan massa yang mendorong upaya
pemboikotan atau sanksi sosial bagi pelaku. Di Indonesia sanksi sosial
masyarakat seringkali lebih manjur dibandingkan peraturan resmi pemerintah.
Dengan memanfaatkan jejaring sosial dunia maya gerakan massa ini dapat terwujud
(Sholikhah, A., 2012).
BAB IV
KESIMPULAN
1. Kepemimpinan dalam kasus pengendalian tembakau
ini masih terkesan ambigu, dimana dalam menentukan kebijakannya terlihat dari
pemerintah di satu sisi menghendaki industri rokok menjadi salah satu pemasok
pendapatan negara dan penyedia lapangan kerja sementara di pihak lain harus
melindungi kepentingan masyarakat agar keselamatan dan kesehatannya terpenuhi. Pelaksanaan
kebijakan pengendalian tembakau di beberapa negara juga belum berjalan optimal,
khusus di negara berkembang memiliki problem yang hampir sama.
2.
Pengkomunikasian kebijakan pengendalian tembakau sesuai
teori kultivasi komunikasi massa lebih menitikberatkan pada media televisi dan
internet. Kemudian bentuk komunikasi pengendalian lainnya melalui pembatasan aksesoris
bungkus rokok. Tidak kalah penting adalah sosialisasi berbagai cara mengatasi
kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan SDM untuk melakukan terapi
berhenti merokok, memasukkan dalam kurikulum pendidikan, mengadakan lomba karya
tulis pelajar atau kreativitas mahasiswa juga menggalang adanya sanksi sosial
masyarakat bagi para perokok.
DAFTAR PUSTAKA
Agaku, I.T., King, B. a &
Dube, S.R., 2014. Trends in exposure to pro-tobacco advertisements over the
Internet, in newspapers/magazines, and at retail stores among U.S. middle and
high school students, 2000-2012. Preventive medicine, 58, pp.45–52.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24183778 [Accessed December
21, 2013].
Budihardjo, A., 2010.
Ambiguitas
Kebijakan Pemerintah dalam Industri Rokok.
Korespondensi Jl. Kalimantan Kampus Tegal Boto, FISIP Universitas Jember.
Email : budihardjoagus@yahoo.com
Czoli, C.D. & Hammond,
D., 2013. Cigarette Packaging: Youth Perceptions of “Natural” Cigarettes,
Filter References, and Contraband Tobacco. The Journal of adolescent health :
official publication of the Society for Adolescent Medicine, 54(1),
pp.33–39. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24012064 [Accessed
December 21, 2013].
Darajat, Z., Thaha, R. &
Razak, A., 2013. Pelaksaaan
Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok Pada Tempat Umum Sebagai
Perwujudan Hak Atas Kesehatan
Masyarakat. The Implementation of the Free-Smoking Regulation in Public
Place as the Realization of the Community ’ s Right for Health. Alamat
Korespondensi : Zakiah Darajat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Email :
darajatzakiah@rocketmail.com., pp.1–15.
IAKMI. Seri 2.Mitos dan Fakta : Kiat Menghadapi
Oposisi. Jakarta : Tobacco Control Support. Center Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia
______. Seri 3: Pengalaman Keberhasilan di
Berbagai Negara. Jakarta : Tobacco Control Support. Center Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia
INWAT (International Network
of Women Against Tobacco). 2006. Turning A New Leaf: Women, Tobacco, and The
Future. Sweden: INWAT; 2006
Katharine ME, Stephen RL.
2004. The Millennium Development Goals and Tobacco Control. Geneve: WHO Press
Littlejohn,Stephen W &
Foss, Karen A. 2005, Theories of Human Communication, 8th edition,USA, Thomson
Wadsworth.Chapter 10
Liu, J.J. et al., 2013.
Smoking cessation interventions for ethnic minority groups-A systematic review
of adapted interventions. Preventive medicine, 57(6), pp.765–75.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24076130 [Accessed December
19, 2013].
Mallat, A. & Lotersztajn,
S., 2009. Cigarette smoke exposure: a novel cofactor of NAFLD progression? Journal
of hepatology, 51(3), pp.430–2. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19596475 [Accessed December 19, 2013].
Prabaningrum, Veranita, Suci
Wulansari. 2008. Upaya Pengendalian Tembakau dalam Pengembangan Kesehatan. Majalah
Kedokteran Indonesia, Vol: 58, Nomor: 1, Januari 2008
Sholikhah, A., 2012.
Pemanfaatan Tembakau untuk Pengendalian Rokok., (14 April 2012). Available at: www.kotasantri.com.
Syafiie, R.M., 2009. Stop Smoking! Studi Kualitatif Terhadap
Pengalaman Mantan Pecandu Rokok Dalam Menghentikan Kebiasaannya. , pp.1–21.
Available at:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=23&cad=rja&ved=0CDYQFjACOBQ&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F10932%2F1%2FJurnal_StopSmoking!.pdf&ei=5qOyUq3MM8O5rge3nYCYDg&usg=AFQjCNEWhDKjDYmxyBQEevQCBpzGsJLleA&bvm=bv.58187178,d.bmk.
Tembakau, T.B.P., 2009.
Tobacco_Initiative_Bab_7-Larangan_Menyeluruh_terhadap_Iklan.
Tran, D.T. et al., 2013.
Tobacco control in Vietnam. Public health, 127(2), pp.109–18. Available
at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23352122 [Accessed December 21, 2013].